Meski telah satu dekade
investasi syariah berkembang di Indonesia, nyatanya masih banyak orang
yang masih ragu menanamkan pundi-pundi investasinya di jalur ini. Konsep
syariah yang tidak mengenal riba (bunga) yang mengadopsi sistem bagi
hasil antara nasabah dan bank, masih dipandang tidak mampu memberikan
tingkat penghasilan yang pasti.
“Dari segi laba, produk investasi belum
bisa bersaing dengan investasi konvensional. Alias, cenderung jauh
lebih rendah,” ujar Amelia (27), saat mengungkap keengganannya untuk
mencoba jalur investasi ini. Benarkah demikian?
“Tergantung
jenis produknya. Secara teoretis memang demikian. Terutama, untuk
produk investasi tertentu yang terkait dengan saham, seperti reksadana saham atau campuran,” ungkapTeguh. Hal ini menyangkut terbatasnya pilihan saham yang tersedia bagi para investor syariah.
Dari
sekitar 400 jenis saham yang dijual di Bursa Efek Indonesia, hanya
sekitar 270-an saham yang oleh hasil penyaringan Bapepam dinyatakan
tidak bertentangan dengan syariah Islam. Nama-nama dari perusahaan yang
masuk dalam kriteria syariah bisa dibaca dalam Daftar Efek Syariah
(DES). Investor syariah hanya dibenarkan untuk menaruh dana mereka pada
perusahaan yang terdaftar dalam DES.
Implikasinya,
ketika semua saham yang terdapat dalam DES mengalami penurunan nilai,
maka investor nonsyariah masih dapat melakukan switch dengan menjual
saham tersebut, dan mengalihkan dananya untuk membeli saham (dari
manajer investasi yang sama) di luar DES yang lebih menguntungkan.
“Langkah yang sama tidak bisa dilakukan oleh investor syariah, yang mau
tidak mau harus terima ‘nasib’,” jelas Teguh.
Namun, teori ini
pun baru-baru ini telah terbantahkan! “Sejak Maret, Mei, bahkan hingga
Juni 2012, reksa dana syariah saham dan campuran memberikan return yang
lebih besar daripada reksa dana sejenis dari produk konvensional.
Bahkan, riset mengungkapkan bahwa untuk produk investasi nonsaham,
seperti reksa dana pendapatan tetap (sukuk, obligasi), produk keluaran
syariah lebih unggul dari konvensionalnya,” papar Teguh, tentang beragam
produk di pasar modal syariah.
Tentang konsep
bagi hasil dalam investasi syariah dan ketakutan terhadap ketidakpastian
hasil, juga merupakan salah satu imbas kurangnya pemahaman masyarakat.
Teguh menerangkan bahwa bentuk bagi hasil ini biasanya dipakai pada
produk investasi yang dikeluarkan oleh bank, seperti tabungan, deposito,
giro, pinjaman, serta asuransi. Bagi hasil ini akan diwakili dengan
nisbah, yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan awal antara
nasabah dan pihak bank, misalnya 60 : 40 (60 untuk Anda, dan 40 untuk
bank).
”Keuntungannya bisa naik-turun, sesuai
dengan performa bank dalam memutarkan modal nasabah. Kalau usaha yang
didanai bank performanya bagus, maka keuntungan tinggi, demikian
sebaliknya,” ujar Teguh. Ketidakpastian yang bagi beberapa orang
dianggap menakutkan ini sebenarnya justru bisa menjadi sistem peringatan
dini.
Ketika bank krisis, maka pendapatan menurun. Sebagai
deposan, kita wajib waspada. Apabila turun terus, padahal kondisi pasar
sedang bagus, dan SBI (suku bunga bank Indonesia) juga naik, berarti
kemungkinan besar banyak kredit yang macet di bank tersebut. Sehingga,
kita bisa mengalihkan dana ke bentuk investasi lain, atau ke bank
syariah yang lain,” jelas Teguh.
Sistem
peringatan dini seperti ini sulit ditangkap saat Anda menabung di bank
konvensional. Sebab, menurut Teguh, di kondisi krisis, bank konvensional
justru cenderung meningkatkan suku bunganya. ”Tujuannya, agar nasabah
tidak lari,” tambahnya. Hal inilah yang terjadi saat krisis tahun
1997/1998, di mana suku bunga bank pernah naik hingga 60%! Padahal,
banyak kredit yang macet. Tahu-tahu bank ambruk, dan nasabah kebingungan karena tidak bisa menarik dananya.
Tidak
kalah dengan produk konvensionalnya, perbankan syariah juga memiliki
banyak koleksi pilihan investasi. Mulai dari yang paling sederhana,
seperti tabungan dan deposito, sampai ke reksa dana, saham, gadai emas,
dan bisnis properti.
”Sekarang ini gadai emas dan investasi yang menawarkan harga lebih
menarik, investasi properti juga menjadi primadona baru di dunia
syariah,” ungkap Achmad.
Untuk Kredit Pemilikan Rumah,
perbankan syariah menawarkan fitur pembiayaan yang menarik, yaitu
melalui konsep sewa-beli, atau yang dikenal dengan program Ijarah
Muntahia Bittamlik (IMBT). Skema pembiayaan ini memudahkan mereka yang
ingin berinvestasi di bidang properti.
Ketika
ingin membeli rumah ke-2 atau ke-3, yang memang ditujukan untuk
kepentingan investasi, nasabah tidak perlu memakai atas nama sendiri.
Sebagai gantinya, mereka bisa memakai atas nama bank. ”Ketika di tengah
jalan properti tersebut akan dijual, pihak bank yang akan melakukan
transaksi penjualan. Nasabah juga tidak perlu repot mengurus sertifikat
ganti nama,” jelas Achmad.
Anda juga bisa
membeli rumah dengan cara jual beli (murabahah). Dengan cara ini,
nasabah syariah tidak perlu khawatir terhadap melonjaknya suku bunga
KPR sebagai akibat fluktuasi harga pasar, seperti yang terjadi pada
sistem pembiayaan konvensional. Kewajiban nasabah adalah melakukan
angsuran tetap hingga jatuh tempo pembiayaan dengan bunga fix.
0 komentar:
Posting Komentar